Tuesday, April 5, 2011

HARMONISASI ANTARA NASIONALISME DENGAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, perbincangan tentang hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks Indonesia sama tuanya dengan usia kemerdekaan itu sendiri. Perbincangan yang sudah dimulai sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai sebuah yang merdeka. Sebagian komunitas muslim menilai tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Namun tidak sedikit pula yang menilai bahwa Islam dan nasionalisme tidak dapat berdampingan sebagai ideologi dan keyakinan. Dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan nasionalisme, Hasan al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam, memaparkan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban.
Makalah ini ditulis untuk menjelaskan sejarah dan pengertian nasionalisme serta kaitannya dengan konteks Indonesia. Disamping itu, perspektif Islam—yang diwakili beberapa pandangan tokoh muslim juga disertakan mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
B.                 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana proses harmonisasi antara islam dan nasionalisme di indonesia?
2.      Bagaimana sejarah harmonisasi nasionalisme dan islam?

BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, perbincangan tentang hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks Indonesia sama tuanya dengan usia kemerdekaan itu sendiri. Perbincangan yang sudah dimulai sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai sebuah yang merdeka. Sebagian komunitas muslim menilai tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Namun tidak sedikit pula yang menilai bahwa Islam dan nasionalisme tidak dapat berdampingan sebagai ideologi dan keyakinan. Dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan nasionalisme, Hasan al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam, memaparkan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban.
Wacana negara Islam di Tanah Air tidak pernah dilepaskan dari  persoalan sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada gagasan Islam sebagai dasar negara, sekaligus menjadi keinginan  mendirikan negara Islam pascamerdeka oleh tokoh-tokoh Islam. Karena  itulah, setelah Indonesia merdeka, perdebatan yang amat krusial di  kalangan founding father adalah perdebatan di dalam Sidang BPUPKI  (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),  mengenai dasar negara yang nantinya menjadi dasar filosofis-ideologis  negara setelah merdeka.   Isu tentang dasar negara telah memaksa para pendiri Republik untuk  menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tapi  akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta adalah hasil kerja  sebuah panitia kecil dalam BPUPKI yang ditandatangani oleh 9 anggota  terkemuka, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno, Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasyim dan Muhammad Yamin.  Pada perkembangan selanjutnya, gagasan negara Islam atau Islam sebagai negara kembali diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam Sidang  Konstituante. Bahkan, tarik-menarik antara negara Islam dan negara Pancasila mengakibatkan Presiden Soekarno akhirnya membubarkan majelis  tertinggi ini lewat dekritnya yang terkenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.  Perjuangan negara Islam yang dimotori Masyumi memang   menjadi sejarah tersendiri di dalam pembentukan dasar negara. Bahkan,  salah seorang tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, sempat melakukan debat  terbuka dengan Presiden Soekarno mengenai relasi agama dan negara.  Soekarno yang berpaham nasionalis menawarkan pemisahan antara agama dan negara, sebaliknya Moh. Natsir yang sangat kental keislamannya tidak memisahkan antara agama dan negara. Maka, perdebatan di kalangan Nasionalis dan Islam menjadi perdebatan yang seru dalam kancah politik  waktu itu. Gagasan pendirian negara Islam tidak pernah berhenti dari artikulasi  perjuangan sebagian umat Islam. Pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo, PRRI dan Permesta adalah bukti nyata bahwa negara Islam  masih menjadi cita-cita sebagian umat Islam. Maka tidak berlebihan jika di masa kecenderungan politik Islam semakin menguat pasca jatuhnya rezim Orde Baru, seiring dengan dibukanya saluran-saluran politik secara bebas dan terbuka, wacana ini kembali mengemuka.  Negara Islam kembali diperdebatkan dalam tataran filosofis dan  praktis. Elite-elite politik Islam berbeda pendapat dalam menyikapi gagasan pendirian negara Islam. Tapi, secara umum elite-elite politik Islam tidak menginginkan bentuk negara Islam. Pengalaman masa lalu tampaknya tidak ingin diulang lagi. Mereka tidak mau mengambil kesempatan untuk mendirikan negara Islam di  saat Islam kembali menguat secara politik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan M. Arskal Salim yang disponsori oleh Ford Foundation tentang relasi agama dan negara, terbukti bahwa elite politik Islam tidak bermaksud mendirikan negara Islam. Mereka lebih menginginkan sersalurnya aspirasi masyarakat Islam. Mengapa masih ada keinginan mendirikan negara Islam? Kecenderungan mendirikan negara Islam di kalangan tokoh-tokoh Islam sesungguhnya tidak dapat dielakkan dariparadigmkeislaman(keberagamaan) yang cenderung romantis-religius, yakni mengenang kejayaan negara Islam masa silam. Tolok ukur mereka adalah dinasti-dinasti Islam masa silam yang pernah berjaya menguasai dunia yang wilayahnya sangat luas. Paradigma ini didukung oleh landasan teologis yang kuat tentang konsep negara dalam Islam.   
Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis, sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Dalam artikel itu, dia juga menjelaskan bahwa Islam telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Cita-cita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia dinilai Soekarno tidak bertentangan dengan konsep nasionalismenya. Dan sesuai dengan konsep Islam, dia menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan mengarah pada chauvinisme. Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan Marxisme, karena Marxisme hanya satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan sosial.
Soekarno menghendaki agar dalam negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negara, karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam undang-undang negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno (ibid, 2001:156). Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan. Usulan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati bersama. Namun setelah Jepang mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI—khususnya dari kalangan Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk akhir Pancasila—dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.
Nasionalisme dalam Perspektif Islam
Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa” (Azra dalam Dault, 2005:186). Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa yang diadopsi dari Barat dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).
Dalam konteks Indonesia, sila-sila dalam Pancasila sebagai ideologi Negara tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997:85) berpendapat bahwa Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Meskipun dia mengingatkan bahwa Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surga-neraka, dan halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini. Categorical imperative sebagai sistem secular juga memiliki sanksi yang bersifat personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam hukum formal.
Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abul A’la Maududi (2004:54) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama. Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak individu-individu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk, pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya.
KESIMPULAN
Wacana negara Islam di Tanah Air tidak pernah dilepaskan dari  persoalan sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada gagasan Islam sebagai dasar negara, sekaligus menjadi keinginan  mendirikan negara Islam pascamerdeka oleh tokoh-tokoh Islam. Karena  itulah, setelah Indonesia merdeka, perdebatan yang amat krusial di  kalangan founding father adalah perdebatan di dalam Sidang BPUPKI  (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),  mengenai dasar negara yang nantinya menjadi dasar filosofis-ideologis  negara setelah merdeka.   Isu tentang dasar negara telah memaksa para pendiri Republik untuk  menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tapi  akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai.


DAFTAR PUSTAKA
Louis Leahly.(1993).Manusia sebuah misteri,Jakarta:PT. Gramedia pustaka Utama.
Boisard, Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang.
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.
www.google.comdiakses pada tanggal 5maret 2010.

No comments:

Post a Comment